You are still my little girl, baby... even you are 23 years old now...
Sampai kapanpun kamu tetap jadi gadis kecil kesayanganku...
Di dunia ini, cuma ada satu sosok lelaki yang paling
dicintai oleh seorang perempuan. Papa.
Mari putar memori. Ini bukan waktunya untuk
menangis, namun sebaliknya. Ada yang ingat siapa yang akan memelukmu erat
ketika kamu terjatuh dari sepeda? Bisa saja itu adalah hari pertama kamu
mengendarai sepeda tanpa roda tiga. Umurmu masih lima. Namun rasa bahagiamu
layaknya seorang jutawan dengan uang berlimpah. Kamu bahagia, tersenyum lebar
saat Papa mengucapkan selamat atas keberhasilanmu karena bisa mengayuh sepeda
tanpa roda bantuan. Papa mengelus kepalamu pelan. Tersenyum. Lalu berujar, ayo
main sepeda lagi sana. Kamu pun dengan langkah riang menuju sepeda yang
terparkir di halaman. Kamu menaikinya. Bersiap untuk mengayuhnya dan memutari
komplek rumah. Berharap bisa pamer dengan tetangga sebelah.
Beberapa kayuhan sepeda dan senyummu masih
belum memudar. Kamu tampak seperti sang selebriti hollywood di karpet merah. Hanya saja tanpa
lambaian tangan. Dan tanpa kamera. Ah rumah sudah tampak menjauh. Tak masalah
katamu. Yang penting sekarang bisa bermain sepeda. Berharap akan ada anak-anak
kecil yang iri melihat kebahagiaanmu di kala itu.
Namun, langkah sepedamu mulai goyah ketika
kamu dihadapkan dengan sebuah tanggul besar di jalanan. Kamu takut. Bingung.
Pikiranmu mengira ngira bagaimana jika kamu jatuh. Terlambat untuk berbalik ke
belakang, ke rumahmu. Terlambat untuk memanggil papa, sang penyelamatmu.
Bagaikan kilat, kamu terjatuh ke jalan yang belum sepenuhnya teraspal mulus.
Lututmu yang pertama kali mencium jalan tersebut.
Dengan langkah kaki yang dikuat-kuatkan,
kamu berjalan sambil menahan air mata. Sepedanya kamu biarkan tinggal. Yang ada
di pikiranmu saat itu adalah pulang ke rumah secepat mungkin. Kamu menangis
tersedu-sedu saat melihat papamu. Beliau kaget lalu memelukmu erat tanpa
menanyakan mengapa kamu menangis. Bekas ciuman aspal tadi membuat lututmu
berdarah, dipenuhi beberapa goresan dan sedikit pasir yang menempel. Setelah
berhenti menangis, kamu hanya mengacungkan jarimu ke arah lututmu. Jatuh. Hanya itu kata yang
keluar dari bibir cerewetmu.
Lukamu dibersihkan dengan air hangat. Orang
Minang menyebutnya air ngilu-ngilu
kuku. Setelah diberi obat merah, Papa langsung menempelkan sebuah perekat
kulit. Kamu baca perlahan tulisan yang tertera di kertas perekat itu. Oh
namanya hansaplast. Lukamu beres. Ciuman pertama tidak seharusnya seperti ini.
“Aspal jahat, lututku kau buat malang,” ucapmu dalam hati.
Sekarang yang kamu takutkan bukan lagi rasa
sakit ciuman aspal tadi. Tapi rasa penasaran apakah Papa akan memarahimu
setelah insiden jatuh dari sepeda. Bukannya marah, Papa malah tertawa pelan.
Beliau bilang, jatuh itu pertanda kamu makin besar. Sekarang gadis kecil
Papa memang sudah tumbuh besar. Sebentar lagi masuk kan masuk SD. Hiiiiii.
Kamu pun melihat gigi putih yang sedang berbaris rapi bak tentara dari mulut
Papamu.
Semua orang pasti pernah mengalami hal yang
sama. Sama sama pernah dipeluk oleh Papanya ketika menangis, baik itu karena
terjatuh dari sepeda, sakit dan lain sebagainya. Papamu tidak akan pernah rela
melihatmu menangis sendirian, bukan? Dia adalah penyelamatmu, pahlawanmu. Tidak
heran jika ada yang bilang, father
is daughter’s first love. Itu
mengapa setiap perempuan ingin sekali menikah dengan pria yang membuatnya
merasa istimewa, seperti cara Papa menyayanginya. Figur hangat. Selalu
menggenggam tanganmu. Selalu tau apa yang kamu rasakan tanpa harus cerita
tentang masalahmu.
Solo, 10 Juli 2014
07.08 WIB
Komentar
Posting Komentar