Malam
tidak ada hujan, tidak ada hawa dingin yang menemaniku untuk tidur nyenyak.
Ketika hujan tak datang berkunjung ke rumahku, aku pun memikirkan seseorang
yang lain yaitu seseorang yang masih menjadi tanda tanya bagiku. Ah, bisakah
aku dikatakan selingkuh darimu hujan? Jangan hujan, jangan cemburu. Untuk malam
ini, untuk malam tanpa dirimu, maka izinkan aku untuk sedikit mengecup wanginya
seseorang yang lain itu.
Aku
pernah kagum, beberapa kali memang. Aku terlalu sering kagum diam-diam.
Menatapnya diam-diam, mendengarkan suaranya diam-diam, dan memperhatikannya
diam-diam. Semua hal aku lakukan secara
diam-diam. Awalnya aku suka melakukan semua hal-hal tersebut. Aku merasa
bagaikan detective yang berusaha
mencari segala hal tentang klien dan kehidupannya. Dan aku pikir itu sangatlah
keren sampai aku tahu bahwa semua hal yang aku lakukan itu, BODOH. Untuk apa
mengagumi seseorang, namun diam-diam. Seseorang yang aku kagumi tersebut bahkan
tidak tahu akan perasaanku. Arrrggh aku bukanlah detective, aku hanyalah seorang penguntit bodoh yang tidak
mengusahakan apa-apa. Tapi setidaknya penguntit adalah profesi kan ya. Eh…
Ternyata
benar kata-kata orang yang bilang bahwa bagi
dunia kamu bukanlah siapa-siapa, tapi bagi seseorang kamu adalah dunianya.
Oke kata-kata ini sangat menusuk ke dalam jantungku. Bagiku, seseorang yang aku
kagumi tersebut adalah duniaku. Aku seperti bumi dan ia seperti matahari. Aku
selalu berada dikelilinginya oleh sinar-sinar kerennya, tapi tetap dengan cara
yang diam-diam. Setiap pagi, siang, sore, senja, dan malam hari aku selalu
mendoakan hal terbaik untuknya. Berharap Tuhan selalu melindunginya untukku.
Tapi apa gunanya semua perhatian bahkan doa untuknya yang masih aku lakukan
diam-diam tersebut. Toh dia tidak pernah tahu kan?
Aku
tidak pernah takut untuk menyampaikan rasa yang aku punya untuknya. Hal yang
aku takutkan hanyalah peristiwa setelah aku menyampaikan rasa tersebut. Aku
terlalu takut jika dia tiba-tiba menjauhiku, pergi, dan aku tak bisa memperhatikannya
lagi secara diam-diam. Lalu dia berlalu dan bilang bye!
Oke,
aku jujur, aku mulai gundah, lalu aku pergi ke pantai, namun aku tak membuat
gaduh dan aku tak membuat ramai dengan memecahkan pohon kelapa ataupun membuat
geger tenda-tenda ceper di sana. Walaupu sebenarnya aku ingin merobek-robek
tenda ceper itu. Aku hanya mengukir namaku dan namanya di atas pasir, lalu
setan centilku menghasutku agar mengambil gambar ukiran nama itu. Aku diam-diam
malu, ingin rasanya menuruti kata setan centilku dan mengeluarkan handphone dari saku celanaku. Namun aku
terdiam sesaat, jika aku foto, bagaimana jika teman-temanku tahu dan
menyebarkan foto tersebut. Tidak oh tidak, maaf setan centilku. Untuk saat ini
aku benar-benar tidak bisa menuruti hasrat kecilmu itu.
Huh,
aku mengeluh panjang. Di kegundahan hati ini, aku hanya bisa menatap sedih
ukiran nama tersebut yang lama kemudian dihapus oleh sangarnya ombak. Hatiku
sedih, tidak menyangka ombak begitu kejam padaku. Tidak bisakah dia mengizinkan
aku untuk bisa tetap mengukir nama kami di pasir pantainya lebih lama lagi.
Apakah ia iri akan ukiran indah nama kami? Atau apakah ia iri karena tulisan
ukiranku lebih indah darinya? “Ombak, aku sedang gundah. Wajar jika aku mudah marah,” kataku pada ombak
dengan sebalnya.
Aku pun mulai membenci ombak. Dalam hati, aku
berjanji untuk tidak baikan dengan ombak jika bukan dia yang mulai untuk
menunjukkan jari kelingkingnya padaku. Huh biar saja. Aku tunggu ombak sadar
akan kesalahannya. Untuk kekesalanku kepada ombak kali ini, aku tidak akan
membiarkan ia merayuku dengan permen. Huh lagi kataku.
Aku
pergi dari pantai, meninggalkan ombak dengan kesendirian dan kegilaannya. Aku
harap ombak cepat sadar. Berharap ombak tidak pernah egois. “Jangan telpon aku
dulu ombak, aku benar-benar tidak mau diganggu dengan rengekanmu malam ini, aku
pergi. Dah,” ucapku selamat tinggal kepada ombak dengan pipi penuh seperti roti
bakpao.
Ombak
kelihatan sedih. Sebenarnya aku pun sedih. Baru kali ini aku dan ombak
bertengkar parah seperti ini. Argh, ya sudahlah dia yang mulai duluan kok kata hatiku.
Aku
masih sedih. Bukan. Kali ini bukan karena pertengkaranku dengan ombak. Kembali
pada ceritaku dengan seseorang yang aku kagumi diam-diam itu. Semakin hari aku
semakin kalut. Apa yang harus aku lakukan? Untuk mengurangi kekalutanku, aku
membeli sepetong kue manis di toko Buk Gelis. Nom nom nom.
Akhirnya
aku dapati sebuah jawaban yang tak akan menusuk hati. Sepertinya diam dengan
rasaku sambil tetap melahap kue manis di tanganku adalah pilihan yang tepat.
Dan aku tidak pernah berharap sedikitpun ia tahu, anehnya aku berharap rasa ini
habis layaknya kue manis yang sedang kulahap ini.
Padang, 27 Agustus 2012
00.12 WIB
Komentar
Posting Komentar