Haha… Aku Kagum Diam-Diam


Malam tidak ada hujan, tidak ada hawa dingin yang menemaniku untuk tidur nyenyak. Ketika hujan tak datang berkunjung ke rumahku, aku pun memikirkan seseorang yang lain yaitu seseorang yang masih menjadi tanda tanya bagiku. Ah, bisakah aku dikatakan selingkuh darimu hujan? Jangan hujan, jangan cemburu. Untuk malam ini, untuk malam tanpa dirimu, maka izinkan aku untuk sedikit mengecup wanginya seseorang yang lain itu. 
Aku pernah kagum, beberapa kali memang. Aku terlalu sering kagum diam-diam. Menatapnya diam-diam, mendengarkan suaranya diam-diam, dan memperhatikannya diam-diam.  Semua hal aku lakukan secara diam-diam. Awalnya aku suka melakukan semua hal-hal tersebut. Aku merasa bagaikan detective yang berusaha mencari segala hal tentang klien dan kehidupannya. Dan aku pikir itu sangatlah keren sampai aku tahu bahwa semua hal yang aku lakukan itu, BODOH. Untuk apa mengagumi seseorang, namun diam-diam. Seseorang yang aku kagumi tersebut bahkan tidak tahu akan perasaanku. Arrrggh aku bukanlah detective, aku hanyalah seorang penguntit bodoh yang tidak mengusahakan apa-apa. Tapi setidaknya penguntit adalah profesi kan ya. Eh…
Ternyata benar kata-kata orang yang bilang bahwa bagi dunia kamu bukanlah siapa-siapa, tapi bagi seseorang kamu adalah dunianya. Oke kata-kata ini sangat menusuk ke dalam jantungku. Bagiku, seseorang yang aku kagumi tersebut adalah duniaku. Aku seperti bumi dan ia seperti matahari. Aku selalu berada dikelilinginya oleh sinar-sinar kerennya, tapi tetap dengan cara yang diam-diam. Setiap pagi, siang, sore, senja, dan malam hari aku selalu mendoakan hal terbaik untuknya. Berharap Tuhan selalu melindunginya untukku. Tapi apa gunanya semua perhatian bahkan doa untuknya yang masih aku lakukan diam-diam tersebut. Toh dia tidak pernah tahu kan?
Aku tidak pernah takut untuk menyampaikan rasa yang aku punya untuknya. Hal yang aku takutkan hanyalah peristiwa setelah aku menyampaikan rasa tersebut. Aku terlalu takut jika dia tiba-tiba menjauhiku, pergi, dan aku tak bisa memperhatikannya lagi secara diam-diam. Lalu dia berlalu dan bilang bye!
Oke, aku jujur, aku mulai gundah, lalu aku pergi ke pantai, namun aku tak membuat gaduh dan aku tak membuat ramai dengan memecahkan pohon kelapa ataupun membuat geger tenda-tenda ceper di sana. Walaupu sebenarnya aku ingin merobek-robek tenda ceper itu. Aku hanya mengukir namaku dan namanya di atas pasir, lalu setan centilku menghasutku agar mengambil gambar ukiran nama itu. Aku diam-diam malu, ingin rasanya menuruti kata setan centilku dan mengeluarkan handphone dari saku celanaku. Namun aku terdiam sesaat, jika aku foto, bagaimana jika teman-temanku tahu dan menyebarkan foto tersebut. Tidak oh tidak, maaf setan centilku. Untuk saat ini aku benar-benar tidak bisa menuruti hasrat kecilmu itu.
Huh, aku mengeluh panjang. Di kegundahan hati ini, aku hanya bisa menatap sedih ukiran nama tersebut yang lama kemudian dihapus oleh sangarnya ombak. Hatiku sedih, tidak menyangka ombak begitu kejam padaku. Tidak bisakah dia mengizinkan aku untuk bisa tetap mengukir nama kami di pasir pantainya lebih lama lagi. Apakah ia iri akan ukiran indah nama kami? Atau apakah ia iri karena tulisan ukiranku lebih indah darinya? “Ombak, aku sedang gundah.  Wajar jika aku mudah marah,” kataku pada ombak dengan sebalnya.
 Aku pun mulai membenci ombak. Dalam hati, aku berjanji untuk tidak baikan dengan ombak jika bukan dia yang mulai untuk menunjukkan jari kelingkingnya padaku. Huh biar saja. Aku tunggu ombak sadar akan kesalahannya. Untuk kekesalanku kepada ombak kali ini, aku tidak akan membiarkan ia merayuku dengan permen. Huh lagi kataku.
Aku pergi dari pantai, meninggalkan ombak dengan kesendirian dan kegilaannya. Aku harap ombak cepat sadar. Berharap ombak tidak pernah egois. “Jangan telpon aku dulu ombak, aku benar-benar tidak mau diganggu dengan rengekanmu malam ini, aku pergi. Dah,” ucapku selamat tinggal kepada ombak dengan pipi penuh seperti roti bakpao.
Ombak kelihatan sedih. Sebenarnya aku pun sedih. Baru kali ini aku dan ombak bertengkar parah seperti ini. Argh, ya sudahlah dia yang mulai duluan kok kata hatiku.
Aku masih sedih. Bukan. Kali ini bukan karena pertengkaranku dengan ombak. Kembali pada ceritaku dengan seseorang yang aku kagumi diam-diam itu. Semakin hari aku semakin kalut. Apa yang harus aku lakukan? Untuk mengurangi kekalutanku, aku membeli sepetong kue manis di toko Buk Gelis. Nom nom nom.
Akhirnya aku dapati sebuah jawaban yang tak akan menusuk hati. Sepertinya diam dengan rasaku sambil tetap melahap kue manis di tanganku adalah pilihan yang tepat. Dan aku tidak pernah berharap sedikitpun ia tahu, anehnya aku berharap rasa ini habis layaknya kue manis yang sedang kulahap ini.               
Padang, 27 Agustus 2012
00.12 WIB 

Komentar