Percakapan Sore di Teras Rumah


Teras depan rumah selalu menjadi tempat terteduh yang bisa saya nikmati sambil sekadar membaca buku, meminum segelas cappuccino, ataupun melihat pemandangan gerimis yang turun dari langit. Di sana terdapat berbagai macam tumbuhan yang hijau dan terawat karena mama saya sangat mencintai tumbuhan. Saking cintanya mama terhadap tumbuhan, saya bahkan sempat merasa bahwa tumbuhan adalah saudara saya karena mama setiap hari menyuapinya dengan air beras dan pupuk yang sehat. Saya pikir… saya tidak boleh cemburu. Saya dan tumbuhan diciptakan oleh Sosok yang sama bukan?
Udara sore ini sangatlah segar, ia terbang melalui rongga-rongga tumbuhan. Lalu seperti tersihir dipeluk oleh udara tersebut, saya membalasnya dengan memejamkan mata. Saya perlahan menghirup udara tersebut. Saya biarkan udara-udara itu masuk ke dalam hidung saya, lalu ia berlari ke kerongkongan terus berdiam sebentar di paru-paru sembari bermain ci luk ba dan tertawa riang dari satu bilik ke bilik lainnya. Saya sungguh menikmati saat-saat seperti ini karena sudah lama rasanya saya tidak bermain dan melihat dunia sehijau ini.
Lama mata saya terpejam, Hati saya lalu berkata, apa yang sedang kau pikirkan sore ini?
“Entahlah… saya hanya berharap waktu dapat berhenti sebentar dan memperbolehkan saya untuk memeluk semua yang ada di hadapan saya ini, tumbuhan, langit sore, udara, bahkan burung-burung yang sedang menggoda saya untuk terbang bersamanya di atas sana,” jawab saya. “Saya sedang lelah, saya lelah untuk menjadi orang bodoh yang terus-terusan dimanfaatkan. Harusnya jika bekerja sama, bukan satu belah pihak saja yang kelelahan, bukan?” tambah saya lagi.
Saya meracau, Hati saya seperti kebingungan sendiri. Mungkin ia tak mengerti apa hubungannya percakapan ini. Tapi saya terus berbicara menjelaskan.
Saya lalu membuka mata perlahan namun tidak ingin menatap Hati yang sedang kebingungan dengan bibirnya yang dimaju-mundurkan dan kening yang dikerut-kerutkan.
“Hati, coba kamu lihat semua pemandangan yang ada di hadapan kita ini. Coba perhatikan tumbuhan, udara, burung-burung, dan langit sore ini! Mereka elok. Mereka menciptakan kerja sama yang baik untuk menyeimbangkan keindahan alam.
Saya lalu menunjuk ke atas.  
“Langit sore ini tidak akan tersenyum jika tidak mendengarkan kicauan burung, maka ia berterimakasih kepada udara karena telah membantu burung-burung terbang di hamparan langitnya. Sehingga, langit masih bisa terus mengikuti alunan nyanyian burung-burung tadi.”
Tak lama kemudian, tangan saya sudah menunjuk ke arah tumbuhan. Hati tetap mendengar.
“Sama dengan langit, tumbuhan akan kesepian jika tidak ada udara yang membantu mereka menari-nari indah, meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Tidak hanya itu, tumbuhan juga berteman akrab dengan burung-burung. Ia tidak akan segan-segan memberikan tumpangan untuk burung-burung hidup di atas pohonnya. Semua mereka bekerja sama. Mereka terlihat sama-sama semangat, sama-sama lelah, sama-sama tertawa, dan sama-sama sedih. Aku iri dengan mereka.” Ucapku perlahan lirih dan lelah.
Dari sudut mata saya, Hati terlihat tersenyum. “Kau tahu apa gunanya mereka diciptakan? Langit sore, tumbuhan, udara, dan burung-burung ini diberikan keajaiban yang berbeda-beda. Mereka akan menggunakan keajaiban mereka masing-masing untuk saling mengisi kebutuhan alam. Tidak ada yang diberikan keajaiban yang berlebihan, maka mereka menggunakan keajaiban itu dengan porsi mereka masing-masing. Benar katamu, mereka pekerja sama yang baik juga handal. Dengan saling bekerja sama, mereka dapat menciptakan sebuah kecantikan yang membuat mata setiap orang jatuh cinta.
Saya tercengang dan masih memikirkan apa maksud salah satu pernyataan Hati yang ini, tidak ada yang diberikan keajaiban yang berlebihan, maka mereka menggunakan keajaiban itu dengan porsi mereka masing-masing.
Saya tersadar dari lamunan sendiri ketika Hati menepuk-nepuk pundak saya. Dengan suara yang ditegar-tegarkan, hati pun melanjutkan perkataannya. “Jika kau sedang lelah, maka istirahatlah dulu.”
Aku tetap tak bergeming.
“Selalu ada telinga-telinga yang mau mendengarkan kalut dan lelahmu dan selalu ada pundak-pundak yang rela ditepuk-tepuk untuk setiap ceritamu,” kata Hati lagi.  
Padang, 19 Januari 2013
Teras Rumah 17.00 WIB
Teras rumah, tempat berkeluh-kesah dengan alam
     

Komentar