Hari ini ketika saya sedang
mengendarai motor, tiba-tiba hujan rintik-rintik kecil turun membasahi saya
beserta bumi. Saat itu terasa amat romantis. Hanya ada saya, motor, jalanan,
dan tentunya hujan. Rintik-rintiknya membawa saya menuju perjalanan ke masa
lalu. Saya kembali teringat terhadap kenangan di waktu kecil ketika saya sudah
mulai mengerti bagaimana rasanya mengagumi seseorang. Kenangan ketika saya
mulai merasakan kagum terhadap teman kecil saya. Ya, kira-kira pada saat itu
saya masih berumur tujuh atau delapan tahun. Tepatnya saya duduk di kelas dua
SD dan masih menjadi sosok seorang perempuan kecil yang masih suka dikepang
rambutnya oleh sang Mama.
Seingat saya, di saat itu saya masih
polos dan lugu. Saya tidak mengerti dengan segala permasalahan yang ada tentang
kehidupan. Hal yang saya tahu hanyalah bagaimana cara menikmati coklat, es
krim, permen, ataupun kerupuk kuah yang dijual di kantin sekolah. Namun,
meskipun saya masih sangat polos dan lugu di saat itu, saya tahu bagaimana
rasanya mengagumi seseorang. Kagum di sini adalah sesuatu yang katanya “cinta
monyet” oleh orang-orang dewasa.
Sebut saja Awan. Dia adalah lelaki
kecil yang rambutnya tidak botak, namun tipis dan berdiri seperti landak. Dia
lucu karena memiliki gigi ompong pada bagian gigi atasnya. Sesuatu yang membuat
saya kagum kepada Awan adalah cara tertawa dan suara seraknya. Saya dan Awan merupakan
teman kecil yang rumahnya berdekatan.
Pernah suatu kali, ketika malam
menghampiri. Saya berjalan menuju rumah bersama teman-teman perempuan lainnya
sehabis pulang bermain. Saat itu keadaan sudah sedikit gelap, langit masih
berhiaskan bintang-bintang dan bulan. Hanya lampu-lampu rumah yang saling
bersaing menunjukkan siapa paling terang yang menjadi penunjuk arah pulang di
malam itu. Selangkah dua langkah perjalanan, kemudian datang Awan dan
teman-teman lain mengganggu kami. Jahil. Laki-laki sepertinya memang diciptakan
untuk mengganggu perempuan. Ketika itu pula saya mendengar kata-kata lucu dan
lugu dari seorang Awan kecil. “Kamu, mau gak jadi pacarku?” ucapnya
terbata-bata lalu kemudian tertawa dengan khasnya. Saya hanya bisa terdiam
meski sebenarnya tertawa di dalam hati. Sesuatu yang ada di pikiran saya ketika
dia berbicara adalah gigi ompongnya dan rambutnya yang tipis namun tidak botak.
“Awan kecil ini sedang menyampaikan rasa
kagumnya padaku. Hahaha,” ucap saya di dalam hati.
Kenangan ketika Awan mengungkapkan
rasa kagumnya adalah salah satu hal yang paling bisa membuat saya tertawa.
Malam itu lucu sekali.
Tidak pernah ada jawaban dari
pertanyaan Awan kecil di waktu itu. Bahkan tidak ada pertanyaan-pertanyaan lain
dari Awan. Dia masih tetap dengan Awan yang sama, Awan yang lucu dengan tawa
dan gigi ompongnya. Saya pun masih sama dengan rambut kepang dua dan lesung
pipi di bagian kanan pipi saya.
Beberapa tahun kemudian, Awan
pindah. Ia meninggalkan kota kelahirannya, Kota Padang. Lalu, ia pergi tanpa
pamit. Tentu saja, karena ketika kami telah beranjak remaja, tepatnya saat
duduk di bangku SMP, saya dan Awan tidak pernah bertegur sapa lagi. Saya berada
di sekolah yang berbeda dengannya. Kemudian, ketika saya duduk di kelas III
SMP, saya mendapati kabar dari salah seorang siswi baru yang berwajah manis. Ia
siswi pindahan dari Kota Depok. Sebut saja namanya Wangi. Entah ini kebetulan
atau tidak, Wangi tiba-tiba menanyakan apakah saya mengenal Awan atau tidak. Wangi
menceritakan ciri-ciri Awan. “Ia tinggi, mukanya sedikit bulat, dan berbobot
sedang,” jelas Wangi.
Awalnya saya merasa kurang yakin,
namun setelah mendengarkan penjelasan ini itu dan bla bla dari bibir Wangi, baru saya percaya bahwa kita sedang
menceritakan sosok yang sama, Awan kecil. Hal yang mengejutkan lagi adalah Awan
ternyata sekarang berada di Kota Depok. Ia pernah satu SMP dengan Awan.
Sekarang saya akan memasuki umur 22
tahun. Sudah 14 tahun berlalu setelah kenangan itu. Kenangan yang membuat saya
merindukan sosok Awan kecil. Andai di malam itu saya menjawab bahwa saya juga
kagum padanya. Maka apa yang akan terjadi di saat ini ya? Awan tetaplah Awa. Ia
adalah teman kecil saya. Laki-laki ketiga yang pernah saya kagumi setelah Ayah
dan Abang kandung saya.
Semenjak kabar dari Wangi yang
mengatakan Awan di Kota Depok, saya tidak pernah lagi mendengar kabarnya Awan.
Rintik-rintik hujan telah membuat
saya mengingat-ingat kenangan di masa kecil. Kenangan manis di masa kecil yang
tidak pernah saya lupakan. Kenangan yang mungkin saja telah dilupakan seorang
Awan kecil, namun masih terpatri jelas di dalam ingatan dan hati saya.
Saya dan Awan kecil. Hujan selalu berhasil
membawa saya menuju masa lalu. Kini, hujan berhasil membuat saya mengingat dan
merindukan sosok seorang Awan kecil. Apa kabar dia? Semoga dia sehat dan tetap
menjadi Awan yang lucu dengan tawa dan suara seraknya.
Komentar
Posting Komentar